Cari

Kamis, 27 Januari 2011

MENGENAL LEMBAGA PEMBIAYAAN SYARI’AH (LEASING DAN FACTORING)

MENGENAL LEMBAGA PEMBIAYAAN SYARI’AH
(LEASING DAN FACTORING)
Oleh: Ali Muhayatsyah
  1. PENDAHULUAN
Sistem keuangan Islam merupakan bagian dari konsep yang lebih luas tentang ekonomi Islam. Sistem keuangan Islam bukan sekedar transaksi komersial, tetapi harus sudah sampai kepada lembaga keuangan untuk dapat mengimbangi tuntunan zaman. Bentuk sistem keuangan atau lembaga keuangan yang sesuai dengan prinsip Islam adalah terbebas dari unsur riba. Kontrak keuangan yang dapat dikembangkan dan dapat menggantikan sistem riba adalah mekanisme syirkah yaitu : musyarakah dan murabahah (bagi hasil).
Aktivitas lembaga keuangan syariah dapat dipandang sebagai wahana bagi masyarakat modern untuk membawa mereka kepada : pertama, prinsip At-Ta’awun, yaitu saling tolong menolong diantara anggota masyarakat untuk kebaikan. Kedua, prinsip menghindari Al-iktinaz, yaitu menahan uang (dana) dan membiarkan menganggur (idle) tidak berputar untuk transaksi yang bermanfaat bagi masyarakat.1
Kerangka kegiatan muamalat secara garis besar dapat dibagi dalam tiga bagian besar, yaitu : politik, sosial, dan ekonomi. Dari ekonomi dapat diambil tiga turunan lagi yaitu : konsumsi, simpanan, dan investasi. Berbeda dengan sistem lainnya Islam mengajarkan pola konsumsi yang cukup moderat, tidak berlebihan yang tidak juga keterlaluan. Lebih jauh, dengan tegas Al-qur’an melarang perbuatan tabdzir dan israaf. “Sesungguhnya pemboros itu saudara setan. Dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.”2
Doktrin Al-qur’an ini secara ekonomi dapat diartikan mendorong terpuruknya surplus konsumsi dalam bentuk simpanan untuk dihimpun kemudian dipergunakan dalam membiayai investasi baik untuk perdagangan (trade), produk (manufaktur), dan jasa (service). Dalam konteks inilah kehadiran lembaga keuangan mutlak adanya (darurah), karena ia bertindak sebagai intermediate antara unit supply dengan unit demand.3
Dalam makalah ini yang akan kami bahas adalah mengenai bentuk lembaga pembiayaan yang sesuai menurut syari’ah, konsep dan prinsip pembiayaan dengan menggunakan cara ijarah (leasing) dan anjak piutang (factoring) serta disertai dengan contoh salah satu perusahaan yang menggunakan pembiayaan secara syari’ah. Mudah-mudahan tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.

  1. LEMBAGA PEMBIAYAAN SYARI’AH
Pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank, yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merpakan defisit unit. Menurut sifatnya pembiayaan dapat diabagi dua hal berikut :4
  1. Pembiayaan Produktif, yaitu pembiayaan yang ditunjukkan untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas, yaitu untuk meningkatkan usaha, baik usaha produksi, perdagangan, maupun investasi.
  2. Pembiayaan Konsumtif, yaitu pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, yang akan habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan.

Menurut keperluannya, pembiayaan produktif dapat dibagi menjadi dua hal berikut :5
  1. Pembiayaan Modal Kerja, yaitu pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan perdagangan dan peningkatan produksi, baik jumlah hasil produksi, maupun peningkatan kualitas atas mutu hasil produksi. Oleh karena itu, pembiayaan modal kerja merupakan salah satu kombinasi dari pembiayaan likuiditas, pembiayaan piutang dan pembiayaan persediaan.
Bank syari’ah dapat membantu memenuhi seluruh kebutuhan modal kerja tersebut bukan dengan meminjamkan uang, melainkan dengan menjalin hubungan partnership dengan nasabah, di mana bank bertindak sebagai penyandang dana (shahibul maal), sedangkan nasabah sebagai pengusaha (mudharib) atau biasa disebut dengan mudharabah (trust financing).
  1. Pembiayaan Investasi, yaitu untuk memenuhi kebutuhan barang-barang modal (capital goods). Pembiayaan ini diberikan kepada nasabah untuk keperluan investasi, yaitu keperluan penambahan modal guna mengadakan rehabilitasi, perluasan usaha, ataupun pendirian proyek baru. Ciri-ciri pembiayaan investasi untuk pengadaan barang, mempunyai perencanaan alokasi dana yang matang dan terarah, dan berjangka waktu menengah dan panjang.
Bank syari’ah menggunakan skema musyarakah mutanaqishah. Dalam hal ini, bank membiayai dengan prinsip penyertaan, dan secara bertahap bank melepaskan penyertaannya dan pemilik perusahaan akan mengambil alih kembali, baik dengan menggunakan surplus cash flow yang tercipta maupun dengan menambah modal, baik yang berasal dari setoran pemegang saham yang ada maupun dengan mengundang pemegang saham baru.
Skema lain yang digunakan adalah al-ijarah al-muntahia bit-tamlik, yaitu menyewakan barang modal dengan opsi diakhiri dengan pemilikan. Sumber perusahaan untuk pembayaran sewa ini adalah amortisasi atas barang modal yang bersangkutan, surplus, dan sumber-sumber lain yang dapat diperoleh perusahaan.

Dalam bank syari’ah menyediakan pembiayaan konsumtif dengan menggunakan skema :
  1. Al-bai’ bi tsaman ajil (salah satu bentuk mudharabah) atau jual beli dengan angsuran.
  2. Al-ijarah al-muntahia bit-tamlik atau sewa beli.
  3. Al-musyarakah mutanaqhishah atau descreasing participation, dimana secara bertahap bank menurunkan jumlah partisipasinya.
  4. Ar-Rahn untuk memenuhi kebutuhan jasa.

  1. PRINSIP PEMBIAYAAN SYARI’AH
  1. Ijarah (Leasing)
Bedasarkan definisi ijarah adalah transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju, tertentu bersifat mubah dan bisa dimanfaatkan dengan imbalan tertentu. Salah satu sistem yang dipakai dalam leasing ini adalah dengan sistem musyarakah mutanaqisah, yaitu kontrak perkongsian diantara dua pihak yang berkontrak. Kontrak tersebut berlaku apabila salah satu pihak tidak mempunyai uang yang cukup untuk membeli barang, lalu memerlukan rekan kongsi lain untuk membantunya. Kemudian adanya perjanjian bahwa si penyewa akan membeli barang tersebut dengan membeli saham kepemilikan barang tersebut secara angsuran.6

    1. Rukun dan Syarat Ijarah (Leasing)
Sebagai suatu transaksi umum, ijarah baru dianggap sah apabila telah memenuhi rukun dan syaratnya. Adapun rukun dan syarat ijarah (leasing) adalah:7
  • Kedua orang yang berakad telah baligh dan berakal.
  • Adanya kerelaan dari kedua belah pihak untuk melakukan akad.
  • Objek ijarah harus diketahui secara sempurna agar tidak ada perselisihan di kemudian hari, memiliki manfaat, tidak cacat, dan halal menurut syara’.
  • Barang yang disewakan tidak terpaut utang.
  • Objek ijarah diserahkan dan dipergunakan secara langsung.
  • Mengenai upah sewa harus jelas.

    1. Pihak yang Terlibat Dalam Transaksi Leasing
Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam proses pemberian fasilitas leasing adalah sebagai berikut:8
  1. Lessor, merupakan perusahaan leasing yang membiayai keinginan para nasabahnya untuk memperoleh barang-barang modal.
  2. Lessee, adalah nasabah yang mengajukan permohonan leasing kepada lessor untuk memperoleh barang atau modal yang diinginkan.
  3. Supplier, pedagang yang menyediakan barang yang akan dileasing sesuai perjanjian antara lessor dengan lessee dan dalam hal ini supplier juga dapat bertindak sebagai lessor.
  4. Asuransi, merupakan perusahaan yang akan menaggung resiko terhadap perjanjian antara lessor dengan lessee. Dalam hal ini lesseedikenakan biaya asuransi dan apabila terjadi sesuatu, maka perusahaan akan menanggung resiko sebesar sesuai dengan perjanjian terhadap barang yang dileasingkan.
  1. Mekanisme ijarah (leasing)
Sesuai dengan perkembangannya, sebagai lembaga penopang kebutuhan modal pembiayaan, maka lembaga ijarah atau leasing berkembang menjadi dua jenis operasional, yaitu:9
  1. Financing Leasing, adalah suatu bentuk cara pembiayaan, lessor yang mendapat hak milik atas barang yang dileasingkan menyerahkan kepada lesee untuk dipakai selama jangka waktu yang sama dengan masa kegunaan barang tersebut. Akad leasing mencakup beberapa tipe, yaitu:
    • Sale Type Lease, merupakan financial lease, tetapi lease property pada saat permulaan lease mempunyai nilai yang berbeda dengan harga yang ditanggung oleh leasor. Dalam hal ini leasor merupakan dealer atau pabrikan yang menggunakan leasing sebagai salah satu jalur pemasarannya. Dengan model ini transaksi yang dilakukan akan menghasilkan laba penjualan.
    • Direct Finacial Lease, merupakan salah satu bentuk dari financial lease yang dibiayai langsung oleh leasor. Metode ini sering disebut dengan full fayout leasing. Leasor membiayai sepenuhnya dari leasef property yang bersangkutan.
    • Sale and Lease Back, merupakan transaksi dengan perjanjian lessee menjual barang yang sudah dimilikinya kepada lessor. Setelah menjadi pemilik barang tersebut secara sah, lessor meleasekannya kembali kepada lessee tadi. Lessee memerlukan atau melakukan ini karena lessee memerlukan cash tambahan modal kerja atau untuk kepentingan lainnya.
    • Leverage Lease, ada tiga pihak yang berdiri sendiri. Jadi, disamping lessor, lessee ada pula credit provider atau debt participant yang membiayai sebagian besar lease property dalam leverage lease, lessee melakukan penawaran equipment menurut yang dikehendaki dan melakukan penawaran harga, sama halnya dengan nonleverage. Tetapi leasor hanya menanggung sebagian kecil dari pembiayaan lease property (sekitar 20%).
  1. Operasional Leasing, adalah suatu bentuk pemberian jasa yang dilakukan lessor yang berupa kepada lessee untuk dipakai selama jangka waktu yang lebih pendek dari masa kegunaan ekonomis yang tersebut disertai dengan pembayaran secara berkala oleh lessee pada lessor. Apabila terjadi kerusakan maka pihak penyewa wajib mengganti. Dengan demikian, transaksi ijarah akan berakhir apabila terjadi hal-hal sebagai berikut: (1) objek hilang atau musnah; (2) habis tenggang waktu yang disepakati dalam akad ijarah; (3)meninggalnya seseorang yang berakad (mazhab Hanafi); (4) karena ada uzur.
  1. Factoring (Anjak Piutang)
Pengertian anjak piutang atau bisa disebut dengan factoring menurut Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988 Tanggal 20 Desember 1988 adalah “Badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk pembelian dan atau pengalihan serta pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek suatu perusahaan dari transaksi perdagangan dalam atau luar negeri.” Dengan demikian jelas perusahaan anjak piutang melakukan kegiatan pembiayaan baik secara pembelian, pengelolaan atau pengambilalihan piutang suatu perusahaan.
Fasilitas anjak piutang ini diberikan oleh bank dalam bentuk pengambilalihan piutang nasabah. Untuk keperluan tersebut nasabah mengeluarkan draf (wesel tagih) yang diaksep oleh pihak yang berhutang, atau promissory notes (promes) yang diterbitkan oleh pihak yang berhutang, kemudian di-endors oleh nasabah. Draf atau promes tersebut lalu dibeli oleh bank dengan diskon sebesar tingkat bunga yang berlaku atau disepakati untuk jangka waktu yang tertera pada draf atau promes tersebut. Bila pada saat jatuh tempo draf atau promes tersebut ternyata tidak tertagih, maka nasabah wajib membayar kepada bank sebesar nilai nominal draf tersebut.
Bagi bank syariah, untuk kasus pembiayaan piutang seperti tersebut di atas hanya dapat dilakukan dalam bentuk al-qardh di mana bank tidak boleh meminta imbalan, kecuali biaya administrasi. Untuk kasus anjak piutang, bank dapat memberikan fasilitas pengambilalihah piutang, yaitu yang disebut hiwalah. Tetapi untuk fasilitas ini pun bank tidak dibenarkan meminta imbalan kecuali biaya layanan atau biaya administrasi dan biaya penagihan. Dengan demikian, bank syariah meminjamkan uang (qardh) sebesar piutang yang tertera dalam dokumen piutang (wesel tagih atau promes) yang diserahkan kepada bank tanpa potongan. Hal itu adalah bila ternyata pada saat jatuh tempo hasil tagihan itu digunakan untuk melunasi hutang nasabah kepada bank. Tetapi bila ternyata piutang tersebut tidak ditagih, maka nasabah harus membayar kembali hutangnya itu kepada bank. Selain itu, sebagian ulama memberikan jalan keluar berupa pembelian surat hutang (bai’ al dayn), tetapi sebagian ulama melarangnya .
  1. Kegiatan Anjak Piutang
Dalam praktiknya keuntungan yang diperoleh dari biaya-biaya yang dibebankan kepada para nasabah terdiri dari:10
  1. Jasa Penagihan (service charge), yaitu biaya yang dibebankan oleh perusahaan anjak piutang kepada kliennya, yang dikenal dengan istilah fee dan besarnya dihitung bedasarkan presentase tertentu.
  2. Biaya Administrasi, yaitu biaya yang diterima oleh perusahaan anjak piutang setelah melakukan pengelolaan perusahaan kreditor oleh klien dan besarnyapun dari kesepakatan yang dibuat bersama.
  1. Pihak yang Terlibat Dalam Anjak Piutang
Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi anjak piutang adalah:
    1. Kreditur atau klien yang menyerahkan tagihannya kepada pihak anjak piutang untuk ditagih atau dikelola atau diambil alih dengan cara dikelola atau dibeli sesuai perjanjian dan kesepakatan yang telah dibuat.
    2. Perusahaan anjak piutang (factoring), yaitu perusahaan yang akan mengambilalih atau mengelola piutang atau penjualan kredit debiturnya.
    3. Debitur yaitu nasabah yang mempunyai masalah (hutang) kepada kreditur (klien).

Pembiayaan yang dilakukan oleh FIF bedasarkan prinsip syari’ah:
      1. Prinsip Jual Beli Syariah. Menempatkan nilai-nilai religi saat menjalankan idealisme usaha dalam bingkai semangat yang dilandasi nilai - nilai universal untuk kemaslahatan ummat dalam mewujudkan transaksi yang adil dan mencegah kerugian atau beban yang memberatkan di kemudian hari.
      2. Universal. Tidak membeda-bedakan latar belakang suku, agama, ras dan golongan dalam memberikan pelayanan.
      3. Jelas. Prinsip ini tercermin dari penyampaian informasi dalam kontrak mengenai tanggung jawab dari kondisi pembiayaan yang disepakati bersama.
      4. Bersih. Hanya menggunakan tata cara pembiayaan Syariah untuk menjamin semua transaksi dilakukan dengan cara yang sesuai dengan syariah.
      5. Terbuka. Penawaran harga disampaikan secara detail dan transparan mengenai harga pokok produk dan margin keuntungan yang diinginkan oleh FIF sebagai total biaya yang harus ditanggung oleh pembeli sesuai dengan kesepakatan bersama.
      6. adil. Melalui pembiayaan Syariah, FIF menempatkan nasabah pengguna dana dalam hak, kewajiban, keuntungan dan resiko yang berimbang.
      7. jujur Jujur dalam menyampaikan informasi yang ada.
  1. KESIMPULAN
Dalam konsep pembiayaan syari’ah dalam artian perusahaan kredit, pada saat ini sudah banyak menerapkan dengan menggunakan prinsip syari’ah. Salah satu yang menjadi indikator perusahaan menggunakan sistem syari’ah dikarenakan terbebas dari bunga atau riba dibandingkan dengan perusahaan konvensional. Prinsip syari’ah yang diterapkan dapat memberikan kemudahan sebagian besar masyarakat dalam memenuhi kebutuhan mereka.
Dengan menggunakan salah satu konsep pembiayaan syari’ah seperti ijarah (leasing) dapat memberikan dampak yang positif bagi sebagian nasabah yang melakukan leasing. Karena dengan adanya ijarah (leasing), nasabah dapat memiliki harta tanpa harus bersusah payah untuk mengumpulkan uang yang begitu banyak untuk membeli kebutuhannya, karena nasabah bisa dapat memiliki harta dan melunasinya secara angsuran.
Dengan adanya perusahaan anjak piutang (factoring), perusahaan yang melakukan pembiayaan kepada nasabah dapat sekali-kali menggunakan perusahaan anjak piutang untuk melakukan penagihan kepada nasabah yang mengalami kredit macet. Dalam konsep syari’ah biasa dikenal dengan hawalah yaitu pengambilalihan utang. Syarat untuk melakukan hawalah harus diketahui oleh perusahaan yang memberikan pembiayaan dengan memberikan surat pemberitahuan kepada nasabah maupun kepada perusahaan anjak piutang, nasabah, dan perusahaan anjak piutang.

Daftar Pustaka
Antonio, Muhammad Syafii, 2001, Bank Syari’ah : Dari Teori Ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press).
Danupranata, Gita, 2006, Ekonomi Islam, (Yogyakarta: UPFE-UMY).
Kasmir, 2007, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: PT. Grafindo Persada)
Muhammad, 2000, Lembaga-Lembaga Keuangan Kontemporer, (Yogyakarta: UII Press).
1 Gita Danupranata, Ekonomi Islam, Cet. 1, (Yogyakarta: UPFE-UMY), 2006. Hal. 41-42.
2 Al-Israa’ 17 : 27.
3 Muhammad, Lembaga-Lembaga Keuangan Kontemporer, Cet. 1, (Yogyakarta: UII Press), 2000. Hal. 51
4 Muhammad Syafii Antonio, Bank Syari’ah : Dari Teori Ke Praktik, Cet. 1, (Jakarta: Gema Insani Press), 2001. Hal. 160.
5 Ibid. Hal. 160-167.
6 Muhammad, Lembaga-Lembaga Keuangan Kontemporer, Cet. 1, (Yogyakarta: UII Press), 2000. Hal. 85.
7 Ibid. Hal. 86.
8 Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Ed. Revisi 7, (Jakarta: PT. Grafindo Persada), 2007. Hal. 260.
9 Muhammad, Hal. 87-88.
10 Kasmir, Hal. 288-289.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar